Sejak
kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama
Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan
yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak.
Gelora
jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik
oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita
dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus
membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik
pajak.
Walau
Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang
bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar
bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari
yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang
supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.
Niat
untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya.
Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi
ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah
padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya
sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah.
Di
saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil
sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke
Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat
membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.
Tentu
saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang
menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu
siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya
di malam hari secara sembunyi-sembunyi.
Bukan
hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit
itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya
makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan
Majapahit itu makin berkurang.
Ia
ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang
itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah
rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.
Dugaannya
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga
gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri
itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.
Untuk
melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir
dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang
saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil
bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden
Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan.
Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan
tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang
dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.
Adipati
Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak
menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu.
Tapi
untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri
itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua
ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak
boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya?
Sesudah
keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak
pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
Raden Said selanjutnya?
Dia
mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok
harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang
pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.
Harta
hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang
yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik
jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.
Ada
seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said
menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng
seperti topeng Raden Said juga.
Pada
suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’
mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah
perampok.
Dia
segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan
Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri.
Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis
cantik.
Raden
Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam
sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali.
Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.
Raden
Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu
berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul
bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada
saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan
diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi
panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk
dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala
desa.
Kepala
desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said.
Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi
terbungkam.
Sama
sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya
sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said
dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti
kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.
Sang
kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa
Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu
saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu
merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden
Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.
“Pergi
dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu
sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan
dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an
yang sering kau baca di malam hari!”
Sang
Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said
yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban
ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala
harapan sang Adipati.
Hanya
ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu
Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa
bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi
Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa
sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban
untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.
Mencari Guru Sejati
Kemanakah
Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara
tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama
bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok
budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu,
selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.
Pada
suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari
jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang
tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah
putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena
tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh
tersungkur.
Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau
tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang
mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu
bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan
sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.
Raden
Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali
tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan
tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan
beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah
berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh
tersungkur tadi”.
“Hanya
beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran.
“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan.
Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk
suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.
Hati
Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.
“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya
menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan
penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu
mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku
bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu
yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”
“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.
Lelaki
itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah
dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama
halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.
Raden
Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat
yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.
Raden
Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai
menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.
Dipandangnya
sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun
mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada
lelaki berjubah putih itu.
“Banyak
hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan
rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan
makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan
para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang
sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat
meningkatkan taraf kehidupannya!”.
Raden
Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama
ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara
yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”
Berkata
demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon
itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said
terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman
yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya.
Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu
mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi,
setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi
emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa
heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu
sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?
Selama
beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba
memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan
itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden
Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.
Ketika
ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau
seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang
berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.
Ucapan
orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan
barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden
Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.
Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah
bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi,
demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di
belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki
berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said
melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada
jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus
menyeberang.
“tunggu…
“, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan
kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya.
“Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal
Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda,
bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”
Lelaki
itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said
diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum
lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian
itu.
Selanjutnya
lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak
heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon
gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin
saja golongan para wali.
Setelah
lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila
dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya
ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.
Doanya
dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar
dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi
sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah
tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan,
pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh
Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian
dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu
adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai
dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari
Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga
artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai.
Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan
yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan
ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.
Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang
hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa
tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa
agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.
Raden
Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu
artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat
Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada
agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan
Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai.
Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan
Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa
kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu
Islam.
Kerinduan Seorang Ibu
Setelah
bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta
seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban
menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil.
Hati ibu Raden Said seketika berguncang.
Kebetulan
saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan
pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang
selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok
itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu
Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal
mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu
bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali
ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan
ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk
mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan
ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya
dikirim ke istana Tuban.
Suara
Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding
istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan
isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas
yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada
akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima
kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.
Karena
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya
kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra
Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden
Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di
Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam
berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah
Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat
menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap
Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat
tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah.
Amin.
Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid
Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki
Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang
Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati
Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai
seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai
seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena
mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar
setiap pagi.
Ia
pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas,
intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat
itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya
banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa
kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat
di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu
kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia
mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang
bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu
adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya
banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk
santapan kuda dan sapinya.
Suatu
ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput
agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu
datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada
waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia
menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit
penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya
penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang
lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya
Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar
ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab
si penjual rumput.
Ki
Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang
sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin
orang itu tidak segera beranjak pergi.
“Hei
Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”.
Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di
hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual
rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang
hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki
Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu
sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama
Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja
sudah enggan melaksanakannya.
“Kau
jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat
pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta
menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah
wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan
harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan
dihormati semua orang”.
Dengan
beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang
yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan
tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!”
“Pak
tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai
penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu,
anak istrimu tercukupi?”
“Soal
harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang
diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul
hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”
“huh!
Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu
itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau
hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman
seberat-beratnya!”
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”
Dengan
tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan,
dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata.
Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang
mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak
menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman
rumahnya.
Ki
Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu
tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang
lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual
rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil
menyusul lelaki penjual rumput itu.
“Buat
apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi
bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya
kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru?
Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin
memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk
membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk
membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan
segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus
menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan
shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan
hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak
menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya
sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus
meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau
laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.
“Wahai
Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah
gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang
diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota
Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”.
Mendengar
nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk
menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan
matanya.
Ki
Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit
sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang
memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang.
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus
untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia
membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan.
Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan
ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya
terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di
Gunung Jabalkat.
Salah
seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat
mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta.
Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur
cita-cita kita”.
Keduanya
lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat.
Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya
berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam
lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki
Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun
karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja.
Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya
dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu
bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai
Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia
berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
“Kakangmas…!
Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”.
Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan
SALATIGA.
Akhirnya
Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget
mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat
dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak
mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur
kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.
Nyai
Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki
Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki
Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak
belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”
jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas
tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena
hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik
Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang
sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja
korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani
memukuli Ki Pandhanarang.
Ki
Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil
terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih
mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal,
keras kepala seperti domba saja!”
Aneh,
seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba
atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki
Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat
air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia
melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia.
“Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”.
“Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud
kepalaku seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak
menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun
Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu
Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke
luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin
menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat.
Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan
air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki
Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin
kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari
dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada
Tuhan.
Pada
suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera
duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke
ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang
mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat
dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar
Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya
mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan
kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan
gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai
Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan
Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk
menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena
dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi
wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah,
diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang
pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar.
Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi,
karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat
tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani
para pembeli.
“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.
Tanpa
pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku
dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu.
Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan
Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula
orang yang membeli kue srabi.
Setelah
tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka
penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri
penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar